Ayat bacaan: Matius 5:23-24
"Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu."
Seberapa besar ego menghalangi kita untuk minta maaf ketika melakukan kesalahan? Di Indonesia seringkali dianggap tabu bari orang tua untuk meminta maaf kepada anaknya. Prinsip orang tua pasti benar dan anak tidak tahu apa-apa dijadikan standar oleh begitu banyak orang tua. Di negara maju prinsip yang bersalah meminta maaf biasanya lebih fleksibel, karena orang tua pun akan segera meminta maaf kepada anaknya jika mereka keliru atau bersalah dalam sesuatu hal. Atasan merasa harga dirinya menjadi rendah jika harus meminta maaf kepada bawahan. Guru kepada murid, abang/kakak kepada adik dan sebagainya. Jangankan minta maaf, saya pernah pula membaca ajaran seseorang agar jangan mengucapkan terima kasih kepada bawahan karena itu dianggap menurunkan wibawa. Hirarki atau silsilah baik dalam struktur organisasi, keluarga maupun bentuk-bentuk hubungan lainnya menjadi patokan perlu tidaknya orang meminta maaf. Ironisnya, generasi-generasi muda semakin banyak yang tidak lagi merasa perlu untuk meminta maaf karena mereka tidak dibiasakan untuk melihat keteladanan dari yang lebih tua sejak masa kecil.
Perasaan bersalah akan terasa sangat menyiksa. Tidakkah itu benar? Hidup dengan sebentuk rasa bersalah tidak akan bisa membuat kita hidup dengan tenang, nyaman apalagi bahagia. Kita akan merasa terus tertuduh, dan itu akan diperparah oleh iblis yang akan terus menuduh kita dengan berbagai rasa bersalah dan tidak layak sehingga kita tidak bisa bertumbuh dalam iman secara benar. Jika kita lebih memilih untuk menjaga gengsi, wibawa atau apapun itu, itu artinya kita lebih rela untuk hidup dengan berbagai perasaan tidak nyaman yang bisa sangat menyiksa, kecuali hati kita memang sudah sekeras batu kali sehingga mati rasa. Tidakkah lebih baik bagi kita untuk segera minta maaf dan memperbaiki hubungan dengan orang yang telah kita sakiti? Dari pengalaman saya sendiri, ada rasa 'plong' atau lega, bagai beban berat yang terangkat lepas dari hati ketika saya meminta maaf ketika berbuat kesalahan. Tidak mudah pada awalnya untuk bisa berlapang dada seperti itu, tetapi ketika saya mau belajar dan melembutkan hati, maka semakin lama saya semakin terbiasa untuk melakukannya. Secepat mungkin ketika saya menyadari sebuah kesalahan, atau ketika saya secara tidak sengaja menyinggung perasaan orang lain, maka secepat itu pula saya berusaha menyelesaikannya. Dan benar, hidup terasa jauh lebih ringan setelahnya. Apakah benar wibawa atau gengsi bisa hilang ketika meminta maaf? Saya sama sekali tidak merasakannya. Saya justru merasa orang yang berani meminta maaf menunjukkan kebesaran hatinya dan akan dihargai, baik oleh manusia apalagi oleh Tuhan. Dan yang tidak kalah pentingnya, itu berarti kita tidak membuka peluang bagi iblis sedikitpun untuk mencoba menjatuhkan kita lewat tuduhan atau dakwaan.
Berbesar hati untuk meminta maaf memang tidak mudah. Ternyata bukan hanya memaafkan yang sulit, tapi ternyata untuk meminta maaf pun biasanya sama susahnya. Padahal perihal maaf memaafkan ini bisa menjadi salah satu penyebab terbesar stagnasi atau mandeg nya pertumbuhan iman kita. Alkitab bahkan berkata bahwa bukan saja perasaan bersalah bisa begitu menyiksa dan terasa sebagai sebuah ganjalan dalam hidup kita, tapi bahkan juga menjadi penghalang bagi kita untuk dapat berhubungan dengan Tuhan. Dan itu bisa kita lihat dari ucapan Yesus sendiri. "Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu." (Matius 5:23-24). Dari ayat ini kita mengetahui betapa pentingnya untuk berdamai dengan orang lain di mata Tuhan. Tuhan mewajibkan kita membereskan segala sesuatu ganjalan terlebih dahulu sebelum kita datang membawa persembahan di hadapan Tuhan. Dalam ayat berikutnya pun kita dianjurkan untuk langsung menemui mereka yang punya masalah dengan kita dan dengan segera menyelesaikannya. Itu akan membuat kita terhindar dari masalah berlanjut yang bisa membuat kita sendiri bertambah repot. "Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara." (ay 25). Dan dengan tegas Yesus melanjutkan: "Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas." (ay 26). In other words, when we made mistakes, God wants us to admit it and apologize. He wants us to do it to be done eagerly, quickly and personally.
Keinginan dan kerelaan dengan berbesar hati untuk berdamai sesungguhnya merupakan hikmat yang langsung berasal dari atas. Yakobus mengingatkan itu: "Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik." (Yakobus 3:17). Oleh sebab itulah dikatakan bahwa bagi orang yang cinta damai akan selalu berbuah kebenaran. "Dan buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai." (ay 18). Jika kita mementingkan ego, itu artinya kita menolak atau mengabaikan hikmat yang berasal dari Tuhan. Dengan jelas Yesus sudah berkata bahwa menolak untuk berdamai akan menghalangi persembahan seperti apapun yang kita berikan kepadaNya. Dalam hal mengampuni pun sama. Yesus juga mengingatkan: "Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu." (Markus 11:25). Jadi jelas, meminta maaf dan memaafkan itu sama-sama penting untuk menghancurkan tembok penghalang antara kita dengan Tuhan. Apabila masalah mengaku bersalah dan meminta maaf atau berdamai di mata Tuhan sungguh penting, mengapa kita harus menomorduakan hal itu dan lebih memilih untuk mementingkan ego, wibawa atau harga diri pribadi kita? Jika ada di antara teman-teman tengah mengalami sebuah hubungan yang rusak karena suatu kesalahan yang pernah anda buat atau katakan, ini saatnya untuk mengambil inisiatif. Datangi mereka dan mintalah maaf. Perbaiki segera hubungan itu, berdamailah saat ini juga, sebelum hubungan anda semakin terputus dengan Tuhan.
Yang saya belajar dari renungan yang saya baca diatas, minta maaf maupun mengampuni salah satu hal yang memang tidak mudah, tapi balik lagi yang dapat memampukan itu semua adalah kasih, ingatlah akan kasih Kristus yang senantiasa mau mengampuni kita, lakukan itu juga kepada sesama maupun musuh kita.. :)
Tuhan Yesus memberkati.... :)
"Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu."
Seberapa besar ego menghalangi kita untuk minta maaf ketika melakukan kesalahan? Di Indonesia seringkali dianggap tabu bari orang tua untuk meminta maaf kepada anaknya. Prinsip orang tua pasti benar dan anak tidak tahu apa-apa dijadikan standar oleh begitu banyak orang tua. Di negara maju prinsip yang bersalah meminta maaf biasanya lebih fleksibel, karena orang tua pun akan segera meminta maaf kepada anaknya jika mereka keliru atau bersalah dalam sesuatu hal. Atasan merasa harga dirinya menjadi rendah jika harus meminta maaf kepada bawahan. Guru kepada murid, abang/kakak kepada adik dan sebagainya. Jangankan minta maaf, saya pernah pula membaca ajaran seseorang agar jangan mengucapkan terima kasih kepada bawahan karena itu dianggap menurunkan wibawa. Hirarki atau silsilah baik dalam struktur organisasi, keluarga maupun bentuk-bentuk hubungan lainnya menjadi patokan perlu tidaknya orang meminta maaf. Ironisnya, generasi-generasi muda semakin banyak yang tidak lagi merasa perlu untuk meminta maaf karena mereka tidak dibiasakan untuk melihat keteladanan dari yang lebih tua sejak masa kecil.
Perasaan bersalah akan terasa sangat menyiksa. Tidakkah itu benar? Hidup dengan sebentuk rasa bersalah tidak akan bisa membuat kita hidup dengan tenang, nyaman apalagi bahagia. Kita akan merasa terus tertuduh, dan itu akan diperparah oleh iblis yang akan terus menuduh kita dengan berbagai rasa bersalah dan tidak layak sehingga kita tidak bisa bertumbuh dalam iman secara benar. Jika kita lebih memilih untuk menjaga gengsi, wibawa atau apapun itu, itu artinya kita lebih rela untuk hidup dengan berbagai perasaan tidak nyaman yang bisa sangat menyiksa, kecuali hati kita memang sudah sekeras batu kali sehingga mati rasa. Tidakkah lebih baik bagi kita untuk segera minta maaf dan memperbaiki hubungan dengan orang yang telah kita sakiti? Dari pengalaman saya sendiri, ada rasa 'plong' atau lega, bagai beban berat yang terangkat lepas dari hati ketika saya meminta maaf ketika berbuat kesalahan. Tidak mudah pada awalnya untuk bisa berlapang dada seperti itu, tetapi ketika saya mau belajar dan melembutkan hati, maka semakin lama saya semakin terbiasa untuk melakukannya. Secepat mungkin ketika saya menyadari sebuah kesalahan, atau ketika saya secara tidak sengaja menyinggung perasaan orang lain, maka secepat itu pula saya berusaha menyelesaikannya. Dan benar, hidup terasa jauh lebih ringan setelahnya. Apakah benar wibawa atau gengsi bisa hilang ketika meminta maaf? Saya sama sekali tidak merasakannya. Saya justru merasa orang yang berani meminta maaf menunjukkan kebesaran hatinya dan akan dihargai, baik oleh manusia apalagi oleh Tuhan. Dan yang tidak kalah pentingnya, itu berarti kita tidak membuka peluang bagi iblis sedikitpun untuk mencoba menjatuhkan kita lewat tuduhan atau dakwaan.
Berbesar hati untuk meminta maaf memang tidak mudah. Ternyata bukan hanya memaafkan yang sulit, tapi ternyata untuk meminta maaf pun biasanya sama susahnya. Padahal perihal maaf memaafkan ini bisa menjadi salah satu penyebab terbesar stagnasi atau mandeg nya pertumbuhan iman kita. Alkitab bahkan berkata bahwa bukan saja perasaan bersalah bisa begitu menyiksa dan terasa sebagai sebuah ganjalan dalam hidup kita, tapi bahkan juga menjadi penghalang bagi kita untuk dapat berhubungan dengan Tuhan. Dan itu bisa kita lihat dari ucapan Yesus sendiri. "Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu." (Matius 5:23-24). Dari ayat ini kita mengetahui betapa pentingnya untuk berdamai dengan orang lain di mata Tuhan. Tuhan mewajibkan kita membereskan segala sesuatu ganjalan terlebih dahulu sebelum kita datang membawa persembahan di hadapan Tuhan. Dalam ayat berikutnya pun kita dianjurkan untuk langsung menemui mereka yang punya masalah dengan kita dan dengan segera menyelesaikannya. Itu akan membuat kita terhindar dari masalah berlanjut yang bisa membuat kita sendiri bertambah repot. "Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara." (ay 25). Dan dengan tegas Yesus melanjutkan: "Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas." (ay 26). In other words, when we made mistakes, God wants us to admit it and apologize. He wants us to do it to be done eagerly, quickly and personally.
Keinginan dan kerelaan dengan berbesar hati untuk berdamai sesungguhnya merupakan hikmat yang langsung berasal dari atas. Yakobus mengingatkan itu: "Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik." (Yakobus 3:17). Oleh sebab itulah dikatakan bahwa bagi orang yang cinta damai akan selalu berbuah kebenaran. "Dan buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai." (ay 18). Jika kita mementingkan ego, itu artinya kita menolak atau mengabaikan hikmat yang berasal dari Tuhan. Dengan jelas Yesus sudah berkata bahwa menolak untuk berdamai akan menghalangi persembahan seperti apapun yang kita berikan kepadaNya. Dalam hal mengampuni pun sama. Yesus juga mengingatkan: "Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu." (Markus 11:25). Jadi jelas, meminta maaf dan memaafkan itu sama-sama penting untuk menghancurkan tembok penghalang antara kita dengan Tuhan. Apabila masalah mengaku bersalah dan meminta maaf atau berdamai di mata Tuhan sungguh penting, mengapa kita harus menomorduakan hal itu dan lebih memilih untuk mementingkan ego, wibawa atau harga diri pribadi kita? Jika ada di antara teman-teman tengah mengalami sebuah hubungan yang rusak karena suatu kesalahan yang pernah anda buat atau katakan, ini saatnya untuk mengambil inisiatif. Datangi mereka dan mintalah maaf. Perbaiki segera hubungan itu, berdamailah saat ini juga, sebelum hubungan anda semakin terputus dengan Tuhan.
Yang saya belajar dari renungan yang saya baca diatas, minta maaf maupun mengampuni salah satu hal yang memang tidak mudah, tapi balik lagi yang dapat memampukan itu semua adalah kasih, ingatlah akan kasih Kristus yang senantiasa mau mengampuni kita, lakukan itu juga kepada sesama maupun musuh kita.. :)
Tuhan Yesus memberkati.... :)
Comments
Post a Comment