Pensertifikatan Tanah Secara Sporadik

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai proses pensertifikatan tanah adat atau tanah2 lain yang belum bersertifikat, berikut saya memberikan tambahan penjelasan mengenai tata cara mensertifikatkan tanah.

Dalam pasal 13 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, dikenal 2 macam bentuk pendaftaran tanah, yaitu:
 
1. Pendaftaran tanah secara sistematik 
Pendaftaran tanah yang didasarkan pada suatu  rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah
yang ditetapkan oleh Menteri.
 
2. Pendaftaran tanah secara sporadik.
Untuk desa/kelurahan yang belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematik tersebut.

Apakah beda antara kedua system pendaftaran tanah tersebut? Inti perbedaannya adalah pada inisiatif pendaftar. Kalau yang berinisiatif untuk mendaftarkannya adalah pemerintah, dimana dalam suatu wilayah tertentu, secara serentak semua tanah dibuatkan sertifikatnya, maka hal tersebut disebut pendaftaran secara sistematis. Hal ini yang oleh orang awam sering di istilahkan sebagai: “PEMUTIHAN”.

Jika inisiatif untuk mendaftarkan tanah berasal dari pemilik tanah tersebut sedangkan setelah menunggu beberapa waktu tidak ada program pemerintah untuk mensertifikatkan tanah di wilayah tersebut, maka pemilik tanah dapat ber inisiatif untuk mengajukan pendaftaran/pensertifikatan tanahnya pada Kantor Pertanahan setempat. Hal inilah yang disebut pendaftaran tanah secara sporadic.

Kegiatan Pendaftaran Tanah (pasal 14 – 22 PP 24/1997) sendiri terbagi atas:

1. Pembuatan peta dasar pendaftaran
Pada proses ini, dilakukan pemasangan, pengukuran, pemetaan dan pemeliharaan titik dasar teknik nasional. Dari Peta dasar inilah dibuatkan peta pendaftaran.

2. Penetapan batas bidang-bidang tanah
Agar tidak terjadi sengketa mengenai batas kepemilikan tanah di suatu tempat, antara pemilik dengan pemilik lain yang bersebelahan, setiap diwajibkan untuk dibuatkan batas-batas pemilikan tanah (berupa patok2 dari besi atau kayu).
Dalam penetapan batas2 tersebut, biasanya selalu harus ada kesepakatan mengenai batas2 tersebut dengan pemilik tanah yang bersebelahan, yang dalam bahasa hukumnya dikenal dengan istilah contradictio limitative.

3. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran
Dari batas-batas tersebut, dilakukan pengukuran untuk diketahui luas pastinya. Apabila terdapat perbedaan luas antara luas tanah yang tertera pada surat girik/surat kepemilikan lainnya dengan hasil pengukuran Kantor Pertanahan, maka pemilik tanah bisa mengambil 2 alternatif:

 a. Setuju dengan hasil pengukuran kantor pertanahan
Jika setuju, maka pemilik tanah tinggal menanda-tangani pernyataan mengenai luas tanah  yang dimilikinya dan yang akan diajukan sebagai dasar pensertifikatan.
 
b. Mengajukan keberatan dan meminta dilakukannya pengukuran ulang tanah-tanah yang berada di sebelah tanah miliknya.
Untuk mencegah terjadinya sengketa mengenai batas-batas tersebut, maka pada waktu dilakukannya pengukuran oleh kantor pertanahan, biasanya pihak kantor pertanahan mewajibkan pemilik tanah (atau kuasanya) hadir dan menyaksikan pengukuran tersebut, dengan dihadiri pula oleh RT/RW atau wakil dari kelurahan setempat.

4. Pembuatan daftar tanah
Bidang-bidang tanah yang sudah dipetakan atau dibubuhkan nomor pendaftarannya pada peta  pendaftaran dibukukan dalam daftar tanah

5. Pembuatan surat ukur.
Pembuatan Surat Ukur merupakan produk akhir dari kegiatan pengumpulan dan pendaftaran tanah, yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan sertifikat tanah.

Apakah syarat-syaratnya untuk mengajukan permohonan pendaftaran secara sporadik?
1. Surat Permohonan dari pemilik tanah untuk melakukan pensertifikatan tanah milknya
2. Surat kuasa (apabila pengurusannya dikuasakan kepada orang lain).
3. Identitas diri pemilik tanah (pemohon), yang dilegalisir oleh pejabat umum yang berwenang (biasanya notaries) dan atau kuasanya
a. Untuk perorangan: foto copy KTP dan KK sedangkan untuk
b. badan hukum (dalam hal ini PT/Yayasan/Koperasi): anggaran dasar berikut seluruh perubahan- perubahannya dan pengesahannya dari Menteri yang berwenang
4. Bukti hak atas tanah yang dimohonkan, yaitu berupa:
a. Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja yang bersangkutan
b. Sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan PMA No. 9/1959
c. Surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya.
d. Petok pajak bumi/Landrente, girik, pipil, ketitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya PP No. 10/1961
e.  Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya PP No. 10/1961 dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
f.  Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
g.  Akta ikrar wakaf/akta pengganti ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan PP No. 28/1977 dengan disert5ai alas hak yang diwakafkan, atau risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum di bukukan dengan disertai alas hak yang di alihkan, atau
h. Surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah Daerah, atau
i. Risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
j. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan dan dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang, atau
k. Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI, dan Pasal VII ketentuan-ketentuan konversi UUPA, atau
l. Surat-surat bukti kepemilikan lainnya yang terbit dan berlaku sebelum diberlakukannya UUPA (dan dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang – dalam hal ini biasanya Lurah setempat), atau
5. Bukti lainnya, apa bila tidak ada surat bukti kepemilikan, yaitu berupa: Surat Pernyataan Penguasaan Fisik lebih dari 20 tahun secara terus menerus dan surat keterangan Kepala Desa/Lurah disaksikan oleh 2 orang tetua adat/penduduk setempat
6. Surat Pernyataan telah memasang tanda batas
7. Fotocopy SPPT PBB tahun berjalan
8. Foto copy SK Ijin Lokasi dan surat keterangan lokasi (apabila pemohon adalah Badan Hukum).


ALVIN SUTANTO
✆ +62813 3101 5550 (Telkomsel)
✆ +62857 3179 5550 (Indosat - WhatsApp - Telegram)
✆ +62878 5183 5550 (XL)

Comments